Selasa, 08 Juli 2025

Tias Itu Orang Baik

Dalam kebisingan kendaraan yang tiada hentinya berlalu-lalang, Tias hanyut dalam pikirannya, menyisakan sekitarnya kosong dalam ketidakpentingan. Pertanyaan Mister Henri tadi pagi terus mengusik pikirannya. "Seperti apa orang baik itu?" tanya Mister Henri, guru sejarah di sekolahnya. Mister Henri sendiri cukup unik. Di saat guru-guru lain terbuai melakukan joget-jogetan di hari kelulusan siswa, dia mengambil inisiatif untuk merangsang murid-muridnya berpikir.


Tias tidak tahu. Kesal rasanya bagi anak yang selalu mendapat peringkat pertama selama lima tahun terakhir di bangku dasar, tidak sanggup menjawab pertanyaan sederhana seperti itu.


Teman-temannya di sekolah sebenarnya memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Namun, tidak ada satupun yang membuatnya puas. "Orang baik adalah orang yang membelikanku es krim," kata Johan, temannya yang gemuk, dengan mata berbinar. "Ehh.. nggak Johan, orang baik itu seperti papaku," sela Rina, yang sangat sayang dengan ayahnya. Atau si ketua kelas Teddy, dia menjawab, "Menurut saya, orang baik itu selalu berkata jujur, Mister." Mengingat itu, Tias hanya berpikir ada yang salah dari ketiga jawaban itu, yang membuat jawaban-jawaban tersebut masihlah kurang tepat. Dia sendiri tidak tahu, apa bagian yang rumpang itu.


Memecah lamunannya, ibunya datang dengan seember cucian tetangga di antara ketiaknya. "Tias!" panggilnya. "Mau sampai kapan ngelamun terus? Mandi sana lalu ngaji, sudah sore ini!"


Tias yang terkenal pemberani, yang sanggup berkelahi dengan anak SMP sendirian, hanya mampu mengangguk dihadapan ibunya. Bukan karena takut, melainkan patuh dan hormat. Karena ibunya berhasil membesarkan dirinya seorang diri. Sementara ayahnya yang brengsek, entah pergi ke mana setahun setelah kelahiran Tias. "Iya, Bu. Sini Tias bantu bawa cuciannya," tawar dirinya.


Beberapa saat setelah Tias sudah rapi dengan baju muslim dan kopiah hitam di kepalanya, terdengar suara dari luar pagar. "Tias... Ayo berangkat ngaji," Doni memanggil dari luar. Doni adalah sahabatnya sejak kecil. Dia adalah anak pertama yang ia temui sejak kepindahannya di kontrakan yang baru. Mereka sangat akrab dan sering bermain bersama.


"Sebentar, Don, aku pamit dulu," sahut Tias.


Setelah berpamitan pada ibunya yang sedang menggosok baju tetangga, Tias dan Doni berjalan ke masjid untuk mengaji.


Di perjalanan, Doni awalnya membicarakan tentang Timnas Indonesia yang berhasil masuk piala dunia.


"Kamu lihat nggak tendangannya Egy semalam? Buset, kenceng banget! Kalau aku yang nepis pasti tanganku sakit," kata Doni, bersemangat.


Namun, setelah berbicara singkat, Tias mengganti topiknya.


"Don, menurut kamu orang baik itu seperti apa sih?" tanya Tias penasaran, berharap sahabat karibnya itu tahu jawabannya.


Setelah berpikir selama beberapa detik, Doni pun menjawab dengan cengiran, "Hmm... Aku nggak tahu, yang pasti orang baik sih nggak pelit kalau temannya minta bagi bekal."


Wajah Tias tiba-tiba cemberut, lalu berkata, "Bukannya aku nggak mau bagi. Masalahnya ibu aku cuma bawain nasi sama telur doang. Kalau aku bagi kamu, yang ada aku kelaparan sampai siang. Aku kan nggak punya uang saku."


Terkesan meledek, Doni hanya berkata, "Iya-iya... Yaudah nanti kamu tanya aja pertanyaan kamu sama Ustad Adi, mungkin Ustad Adi tahu jawabannya." Tias mengangguk setuju.


Sesampainya di masjid, Tias dan Doni hanya melihat meja yang belum ditata, tidak ada Ustad Adi di sana. "Gimana sih Ustad Adi, katanya menghargai waktu sama dengan bersyukur kepada Tuhan. Tapi dia sendiri malah terlambat," gumam Doni, kesal. "Sudah sabar saja. Sebentar lagi juga datang. Makan dulu kali, atau paling sandalnya diberakin ayam," kata Tias berusaha menenangkan Doni.


Beberapa menit kemudian, datang Ustad Adi yang mengenakan sarung bermotif MU kebanggaannya dengan motor bebek yang biasa dia gunakan.


"Lama banget sih, Tad. Katanya kita harus disiplin, eh Ustad malah telat," keluh Doni yang sejak tadi sudah menahan untuk mengucapkannya.


"Maaf, Don, sendal saya diberakin ayam tadi, jadi harus dibersihin dulu, berkerak soalnya," jawab Ustad Adi.


Keduanya pun terkejut. "Cenayang kamu, Yas," ucap Doni tampak syok karena dugaan Tias terbukti benar. Tias menyeringai dan berkata, "Kan. Apa aku bilang."


Ustad Adi yang tidak paham apa yang sedang terjadi, kemudian meminta mereka berdua menata meja yang ada di sudut ruangan.


Mereka pun mulai mengaji.


Sama seperti sebelumnya, Tias dipuji karena sudah lancar membaca Al-Quran.


Dan masih sama seperti sebelumnya, Doni kena omel Ustad karena masih belum tamat Iqro 2.


"Ya ampun Don, Don. Sudah enam bulan naik Iqro 2 belum lancar-lancar juga. Contoh tuh Tias, masih SD tapi sudah lancar Quran," ucap Ustad Adi.


Tanpa merasa malu, Doni hanya tertawa dan berkata, "Hehehe... Ya maaf, Tad, Doni masih mau lama-lama di Iqro 2 soalnya."


"Alasan saja kamu," kata Ustad Adi.


Setelah membaca doa, dan hendak untuk pulang, Tias menyadari inilah waktu yang tepat untuk bertanya hal yang sejak pagi mengusiknya.


"Ustad Adi, orang baik itu bagaimana sih?" tanya Tias.


Dilempari pertanyaan seperti itu oleh anak SD, sontak membuat Ustad Adi bingung bagaimana menjawabnya.


"Kok tiba-tiba tanya begitu?" kata Ustad Adi yang bukannya menjawab, malah bertanya balik.


"Soalnya tadi Mister Henri tanya di sekolah. Tias nggak tahu jawabannya."


"Mister Henri? Pesulap mana itu? Ustad tahunya Deddy Corbuzier doang."


"Ih, Tad, Mister Henri itu guru sekolahnya Tias, guru sejarah kan ya, Yas?" kata Doni membantu Tias.


"Iya, Ustad, Mister Henri guru sejarah Tias. Jadi bagaimana, Ustad? Kok malah balik tanya sih!" ucap Tias yang sudah tidak sabar.


"Iya-iya. Kalau menurut Ustad, orang baik itu adalah orang yang taat kepada Tuhannya. Tanpa syarat!" katanya menjelaskan.


"Meskipun Tuhannya suruh membunuh orang lain?" tanya Tias, ragu terhadap pernyataan Ustad Adi.


"Nggak mungkin Tuhan suruh itu, Tias. Tuhan maha baik," kata Ustad Adi menjelaskan lagi.


"Lalu orang yang ngelakuin bom bunuh diri atas nama Tuhan itu bagaimana, Ustad? Tuhan mana yang suruh dia ngelakuin itu?" tanya Tias kembali penasaran. Memang, anak kecil penuh dengan pertanyaan. Rasanya akan makan banyak waktu jika harus menuntaskan seluruh isi kepala mereka.


Wajah Ustad Adi sedikit berubah, ada gurat kebingungan atau mungkin kekesalan tipis karena pertanyaan Tias yang kelewat kritis untuk anak seusianya. Ia berdeham, mencoba mencari celah untuk menghindar. "Udah, kamu jangan tanya begitu, Tias, nggak baik bawa-bawa nama Tuhan. Sudah malam juga, lebih baik kalian pulang, takut mama kalian cariin," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih cepat dari biasanya.


Sebenarnya Tias masih belum puas dengan jawaban yang dia terima. Sementara Doni senang karena bisa pulang dengan cepat. "Asik, makasih, Tad. Yuk, Yas. Assalamu'alaikum, Tad," katanya sambil buru-buru menarik tangan Tias dan keluar dari masjid. "Wa'alaikumussalam. Hati-hati nanti kesandung!" balas Ustad Adi.


"Kamu ngapain sih buru-buru banget?" tanya Tias yang tidak terima 'dipaksa' pulang oleh temannya. "Aku haus soalnya. Ke warkop Bang Aji dulu ya," jawab Doni lagi-lagi tidak merasa bersalah. Tias mau tidak mau ikut menemani Doni jajan di warkop Bang Aji.


Mereka pun melangkah menyusuri gang yang mulai sepi menuju warkop Bang Aji. Lampu-lampu remang menerangi jalan, dan dari kejauhan, Tias sudah bisa mencium aroma kopi dan mi instan yang khas dari warkop.


"Bang Aji, Nutrisari duren satu ya!" kata Doni sambil duduk di dekat etalase warkop. "Kamu mau apa, Yas? Aku yang bayarin deh, ibuku ngasih duit lebih nih."


"Aku yang rasa duku deh."


"Nutrisari dukunya juga satu ya, Bang. Di gelas aja."


Bang Aji yang sedang menata gelas menjawab, "Siap, Don!"


Di warkop Bang Aji tersedia mi instan, minuman seduh, dan kacang hijau tentu saja lengkap dengan ketan hitamnya. Di sudut kiri atas, dekat kipas angin, terdapat TV tabung yang menyala. Saat itu terdapat talkshow seorang figur bernama Sujiwo Tejo yang ditanyai pertanyaan-pertanyaan dari para penonton. Pembawa acara bilang begini, "Mbah, menurut Mbah orang baik itu yang seperti apa, Mbah?"


Mendengar pertanyaan yang belum Tias temui jawabannya keluar dari mulut pembawa acara itu, Tias mendadak tertarik, terpaku pada layar TV yang menyala.


"Begini, coba sebutkan hal baik apa saja yang kamu lakukan hari ini!" ucap Sujiwo Tejo kepada pembawa acara itu.


"Mengantar anak-anak sekolah..." jawab si pembawa acara.


"Bukan... Itu bukan kebaikan... Itu kewajiban. Ayo, apa lagi?" tanya Sujiwo Tejo kembali.


Pembawa acara itu ragu. Setelah berpikir sebentar dia menjawab, "Mungkin, menjemput istri bekerja?"


"Bukan juga... Sekali lagi itu kewajiban. Apa kamu tidak terpikirkan hal lain lagi?"


Pembawa acara itu menggeleng, malu karena tidak berhasil menyebutkan satupun kebaikan yang ia lakukan di hari itu.


"Kalau kamu tidak bisa menjawabnya, maka kamu orang baik," ucap Sujiwo Tejo yang membuat pembawa acara itu semangat kembali.


"Maksudnya bagaimana, Mbah?" tanyanya penasaran.


"Iya... Kamu orang baik, karena kamu melupakan hal baik yang kamu lakukan. Orang baik adalah orang yang tidak ingat dia pernah melakukan kebaikan sebesar apapun kebaikan itu, tapi menyesal sejadi-jadinya jika melakukan kesalahan sekecil apapun kesalahan itu."


Mata Tias menjadi berbinar. Dia sebenarnya tidak begitu mengerti apa maksud dari kalimat itu. Tapi dia rasa itu jawaban yang selama ini dia cari.


"Jadi, orang baik seperti itu ya..." ucap Tias dalam hati.


Bang Aji yang sudah selesai menyeduh minuman mereka, datang dengan dua buah gelas di atas nampan.


"Makasih ya, Bang," ucap Doni.


Setelah beberapa kali menyeruput minuman rasa duku itu, Tias penasaran dengan pendapat Bang Aji.


"Bang Aji," panggil Tias.


"Apa?" kata Bang Aji yang sedang mengelap piring.


"Menurut Bang Aji gimana sama itu," menunjuk TV yang ada di atas.


"Ya... TV-nya udah tua sih, nanti mau Bang Aji ganti," katanya, salah paham dengan maksud Tias.


"Bukan itu, Bang. Tadi orang di situ bilang orang baik adalah orang yang tidak ingat dia pernah melakukan kebaikan sebesar apapun kebaikan itu, tapi menyesal sejadi-jadinya jika melakukan kesalahan sekecil apapun kesalahan itu. Menurut Abang benar nggak?"


Sambil mengusap-usap dagunya yang tidak ada jenggot, Bang Aji berkata, "Abang nggak setuju. Orang yang menyesal sama kesalahannya sendiri cuma orang yang menyangkal kalau dirinya manusia."


"Maksudnya, Bang?"


"Eh maaf, bahasa Abang ketinggian ya. Maksud Abang, orang yang menyesal sama kesalahannya sendiri itu nggak tahu kalau manusia memang pasti buat salah."


Tias masih belum paham, tapi dia mengangguk-angguk dengan penjelasan Bang Aji.


"Jadi menurut Abang orang baik itu bagaimana, Bang?" tanya Tias sekali lagi mengharapkan kepastian.


"Abang nggak tahu. Mungkin sebenarnya nggak ada?" balas Bang Aji yang membuat Tias semakin tidak paham. "Tapi Abang pernah dengar ada orang bijak yang bilang, 'Jangan mendebati orang baik itu seperti apa, tapi jadilah orang baik.' Jadi kamu nggak perlu tahu orang baik itu seperti apa untuk jadi orang baik. Yang penting, kita jadi orang baik."


Percakapan orang baik ini dan orang baik itu membuat isi kepala Tias mengebul. Sementara Doni yang asik dengan Nutrisari durennya seakan hidup terpisah dari dunia Tias dan Bang Aji.


"Kamu paham nggak, Don, Bang Aji ngomong apa? Aku nggak paham." tanya Tias.


"Hah? Memang kalian ngomongin apa?" jawab Doni dengan polosnya.


Tias dan Bang Aji menepuk jidat mereka seolah berkata dalam hati, "Ya ampun Don, Don."


"Gini deh kalau Tias masih belum paham. Coba pikirin satu orang yang menurut Tias itu orang baik," kata Bang Aji.


Tiba-tiba, wajah ibunya yang sedang menggosok baju di rumah memenuhi benak Tias. Aroma sabun cuci dan uap setrika seolah tercium, membawa kenangan hangat. Wanita yang rela membelikan Tias baju motif Ultraman kesukaannya, tapi masih memakai daster yang robek di dekat lutut, daster lusuh yang menjadi saksi perjuangan ibunya. Wanita yang rela siang-malam, sehat ataupun sakit, mengusahakan kebahagiaan Tias. Perasaan hangat menjalar di dadanya, diikuti perih yang tak bisa ia jelaskan. Perlahan, tetesan air mata mengalir dari mata sayunya, membasahi kain baju muslim di pipinya.


"Tias pasti ngebayangin Bu Santi ya," kata Bang Aji, seolah dapat membaca pikiran Tias.


Tias mengangguk. Masih menangis dalam diam.


"Itu tandanya, Tias juga orang baik, karena Tias sayang sama Ibu Tias."


Masih terisak, Tias berusaha bersuara, "Meskipun Tias nggak mau bagi bekal sama Doni, Tias tetap orang baik, Bang?"


Bang Aji diam sebentar. Sebenarnya dia tidak begitu mengerti situasinya. Tapi akhirnya dia bilang, "Iya, Tias tetap orang baik. Tias pasti punya alasan untuk itu kan?"


Sekali lagi Tias mengangguk tak bersuara.


Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Bang Aji meminta Doni dan Tias pulang ke rumah.


Mereka pun berjalan bersama menyusuri kampung yang sudah mulai tertidur. Di pertengahan jalan, di dekat pondok siskamling, mereka berdua berpisah. "Aku lewat sini saja ya, lebih cepat soalnya," kata Doni. "Yaudah, hati-hati nanti diculik."


Sebelum berpisah mereka berdua melakukan tos ala mereka sendiri. Diawali pertemuan tangan mereka yang saling beradu, dan diakhiri pinggul mereka yang saling mendorong satu sama lain.


Tias sudah berada di depan pagar rumahnya. Perlahan dia melewatinya dengan hati-hati, khawatir mengganggu tetangga.


"Assalamu'alaikum, Bu. Tias pulang," ucapnya berharap balasan. Namun, tidak ada sahutan yang terdengar. Tias pun melepas sendal swallow hijau dari kakinya dan memasuki rumah.


Tias melihat sekitar, tidak ada siapa-siapa. Semuanya tampak tenang. Hanya ada tumpukan baju yang sudah rapi tapi belum dikemas.


Dia melihat salah satu pintu di rumah itu terbuka. Pintu itu adalah pintu menuju kamar ibunya. Tias pun mendekatinya perlahan, sampai kepalanya melewati pintu tersebut.


"Bu, Tias pulang," katanya sedikit berbisik.


Di ruangan itu, terlihat wanita dewasa sedang berbaring di atas ranjang berwarna merah muda. Terbaring sunyi, hanya mengeluarkan napas yang teratur.


Tias mendekati ibunya. Dilihat wajahnya yang bersandar di atas bantal. Tampak kulit yang tidak pernah dirawat sebelumnya. Berwarna cokelat, dan ada tahi lalat di lehernya. Tias melihat ibunya tampak lelah, jadi tidak ingin membangunkannya.


Tias pun berjalan keluar, meninggalkan ibunya yang sedang tertidur pulas. Sebelum keluar, dengan suara yang sangat pelan, Tias berkata, "Tias sayang Ibu."


Hari pun telah berganti. Matahari kembali bersinar. Dan masih sama seperti hari sebelumnya, Mister Henri kembali bertanya kali ini spesifik kepada Tias, "Tias, menurut kamu orang baik itu seperti apa?"


Tias diam sejenak. Tampak gugup karena satu kelas memandang dirinya saat itu. Perlahan dia memberanikan diri membuka mulutnya. Sambil tersenyum dirinya berkata, "Mungkin, seperti ibu saya."

Tias Itu Orang Baik

Dalam kebisingan kendaraan yang tiada hentinya berlalu-lalang, Tias hanyut dalam pikirannya, menyisakan sekitarnya kosong dalam ketidakpenti...